Tiga dari Ayah

1/
Di hutan-hutan Baturraden, kita memanjat pohon. Kau gendong aku di pundakmu, kemudian berurutan menjadi adik-adikku, dan Ibu di belakang untuk menjaga mereka agar tidak jatuh.

Kemudian, hari berubah abu-abu. Tetes hujan jatuh menjadi beku tanpa pernah mencair lagi. Kau putuskan untuk pergi, dan celakalah bagiku.

Bukan karena aku menyayangimu, apalagi mencintaimu. Sama sekali bukan. Itu karena, aku anak pertama, wanita, dan adikku ada tiga. Tak ada yang lebih celaka daripada itu. Aku tak lagi bersandar pada pundakmu, tapi mereka tetap bersandar pada pundakku. Berat sampai kakiku kesemutan.

Di tengah jalan, angin bilang bahwa aku harus menjadi ayah bagi adik-adikku meskipun aku bukan seorang laki-laki. Aku juga harus menjaga ibu seperti seorang suami. Sekarang, Ayah, jika aku harus mengambil peranmu dan sibuk menjadi seseorang bagi orang lain, lantas:

Siapa aku untuk diriku sendiri?

Bukan, Ayah.

Bukan siapa-siapa.

2/
Libur lebaran, kau ajak aku pergi ke Glagah, hamparan laut yang hanya bisa dinikmati pasirnya. Kubilang, aku ingin berenang, tapi kau melarang. Ombak terlalu ganas untukmu, katamu.

―aku hanya pura-pura mengerti.

Ombak datang, sebatang ranting terkulai di bawah kakimu. Kau menggilasnya tapi tak sampai lumat; hanya membuatnya tercerai-berai. Kau tertawa, sambil bilang tak sengaja. Lalu, tanganmu bergerak mengambil patahan-patahan yang masih tersisa, menulis b-a-h-a-g-i-a di atas butir-butir pasir untuk kueja, tetapi aku? Aku gagap membaca.

Kemudian, Ayah, ombak sampai. Merayap di bawah jemari kaki kita, menyapu bersih seluruh maknanya.

―aku benar-benar mengerti.

3/
Ayah seorang pendongeng, aku seorang penggubah. Dalam panggung sandiwara yang kami mainkan bersama, aku adalah Malin Kundang versi wanita dan ia sebaliknya. Sebab durhaka, aku berubah jadi batu. Batu berlumut. Kadang berpasir, kadang berdebu, kadang hanya batu, kadang juga lebih parah dari itu.

Tapi sejak awal, aku hanya ketiadaan yang merasuki sesuatu dan menjadi orang lain. Aku adalah seorang ayah, aku adalah seorang suami, aku adalah batu, serigala, domba, keledai, debu… aku adalah segala hal yang bukan diriku.

Jadi, mengapa harus aku menyesal saat menjadi batu karenamu?

Jakarta, 7 September 2017
18:29

6 Replies to “Tiga dari Ayah”

Tinggalkan komentar