Hakikat Bebas yang Kita Cari

Sebagaimana remaja pada umumnya, aku telah melalui masa-masa kritis bersumber dari akar permasalahan yang sama, yaitu kekangan. Padahal, aku sendiri tidak tahu kekangan macam apa yang aku rasakan, pun kebebasan apa yang aku inginkan. Persis seperti disuruh mencicipi opor ayam, kemudian ditanya, “Ada yang kurang?” iya. Ada. Tapi entah apa. Mungkin garam, gula, atau santan.

Kemudian, aku mencari bumbu yang hilang itu ke mana-mana. Seandainya Indonesia masih dijajah, aku mungkin akan berada di garis depan dan menuntut bebas kepada Jepang. Tapi tidak, Indonesia telah merdeka, dan aku kebingungan setengah mati kenapa aku masih terus merasa dijajah, di mana bebas yang aku cari, dan kepada siapa aku harus menuntut bebas jika kedaulatan negara telah dikembalikan?

Tetapi dalam hidup, ada-ada saja aturan yang membatasi langkah. Bebas begitu luas sehingga mencarinya bagai mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Apakah aku langsung merasa putus asa? Tidak. Aku terus berpikir. Jika sebuah negara telah merdeka, apakah unsur-unsur di dalamnya sudah pasti memerdekakan kita? Kemudian, aku mulai menyalahkan tekanan yang datang dari moral para tetangga.

Saat itu, aku berpikir bahwa aku telah menemukan pelaku yang tepat untuk disalahkan. Atas dasar moral, aku yang seorang gadis dilarang pulang malam-malam. Padahal, kali pertama praktik liputan, aku baru bisa pulang ke rumah lewat tengah malam. Apakah tetangga aku mau tahu? Bahkan, bertanya pun tidak. Tetapi besoknya, omongan-omongan muncul bagai tunas tumbuh pascadiguyur hujan.

Sungguh, tidak bisakah kita semua menjadi orang bebas? Makan apa yang ingin kita makan, minum apa yang ingin kita minum, berjoget seperti wanita gipsi di siang hari tanpa perlu dianggap gila. Tidak bolehkah kita mengenal satu Tuhan dalam berbagai macam cara?

Tidak, tidak selama kita masih hidup di lingkungan yang gemar mengurusi orang. Bukankah begitu? Seharusnya iya. Tetapi anehnya, menyadari hal itu membuat aku merasa terkekang jauh, jauh, jauh lebih parah. Aku mulai memusuhi orang-orang; memusuhi dosen yang mengambil waktu meditasi, memusuhi teman, memusuhi orang tua, memusuhi semua yang aku kenal. Lama-kelamaan aku sadar, bahwa memusuhi orang-orang jauh lebih sulit daripada memusuhi bala tentara negara lain.

Aku hampir menyerah mencari hakikat bebas.

Namun suatu hari, di dalam keputusasaan yang nampak tak berujung itu, muncul seorang teman kuliah dengan lagu “Donna Donna” bagai utusan dari langit yang memberi wahyu kepada aku. Begini bunyinya:

“…Calves are easily bound and slaughtered/

never knowing the reason why/

But whoever treasures freedom/

like the swallow has learn to fly….”

Sepotong kisah antara anak sapi dan burung layang-layang tersebut ditutup dengan lirik: siapapun yang menginginkan kebebasan, seperti burung layang-layang, harus belajar terbang. Pesan sampai dengan utuh saat aku mendengarkan lagu ini sampai habis. Rasanya manis.

Anak sapi, seperti kita, begitu takut menghadapi kematian—satu-satunya rantai pemutus segala kenikmatan. Kita bisa menghentikan roda jajahan meski butuh waktu lama dan pengorbanan. Tetapi kematian … tidak ada yang mampu menghentikan kematian. Kematian adalah hal yang membatasi keinginan alamiah seseorang untuk bangun besok pagi.

Sekarang, siapa kita? Apakah kita adalah anak sapi, atau burung layang-layang?

Manusia seringkali hidup hanya sebagai tubuh yang dipermak sampai rupawan. Kita lupa bahwa pada hakikatnya, kita adalah jiwa, dan jiwa selalu bebas berkelana menembus batas ruang dan waktu. Bukankah sejak awal, jiwa selalu menuju keabadian?

Bebas yang kita cari sesungguhnya tidak ada di mana-mana. Rantai adalah sesuatu yang aku ciptakan sendiri untuk tidak beranjak dari batas aman. Menjadi peminta-minta kebebasan adalah hal yang sia-sia, sebab tak ada satu pun orang dari negara adikuasa berkekuatan mengambil dan memberi hak yang secara alamiah menjadi milik manusia.

Bagaimana dengan kematian?

Well, “The only thing it can take from you is your body,” tutup Rumi.

 

Tiga dari Ayah

1/
Di hutan-hutan Baturraden, kita memanjat pohon. Kau gendong aku di pundakmu, kemudian berurutan menjadi adik-adikku, dan Ibu di belakang untuk menjaga mereka agar tidak jatuh.

Kemudian, hari berubah abu-abu. Tetes hujan jatuh menjadi beku tanpa pernah mencair lagi. Kau putuskan untuk pergi, dan celakalah bagiku.

Bukan karena aku menyayangimu, apalagi mencintaimu. Sama sekali bukan. Itu karena, aku anak pertama, wanita, dan adikku ada tiga. Tak ada yang lebih celaka daripada itu. Aku tak lagi bersandar pada pundakmu, tapi mereka tetap bersandar pada pundakku. Berat sampai kakiku kesemutan.

Di tengah jalan, angin bilang bahwa aku harus menjadi ayah bagi adik-adikku meskipun aku bukan seorang laki-laki. Aku juga harus menjaga ibu seperti seorang suami. Sekarang, Ayah, jika aku harus mengambil peranmu dan sibuk menjadi seseorang bagi orang lain, lantas:

Siapa aku untuk diriku sendiri?

Bukan, Ayah.

Bukan siapa-siapa.

2/
Libur lebaran, kau ajak aku pergi ke Glagah, hamparan laut yang hanya bisa dinikmati pasirnya. Kubilang, aku ingin berenang, tapi kau melarang. Ombak terlalu ganas untukmu, katamu.

―aku hanya pura-pura mengerti.

Ombak datang, sebatang ranting terkulai di bawah kakimu. Kau menggilasnya tapi tak sampai lumat; hanya membuatnya tercerai-berai. Kau tertawa, sambil bilang tak sengaja. Lalu, tanganmu bergerak mengambil patahan-patahan yang masih tersisa, menulis b-a-h-a-g-i-a di atas butir-butir pasir untuk kueja, tetapi aku? Aku gagap membaca.

Kemudian, Ayah, ombak sampai. Merayap di bawah jemari kaki kita, menyapu bersih seluruh maknanya.

―aku benar-benar mengerti.

3/
Ayah seorang pendongeng, aku seorang penggubah. Dalam panggung sandiwara yang kami mainkan bersama, aku adalah Malin Kundang versi wanita dan ia sebaliknya. Sebab durhaka, aku berubah jadi batu. Batu berlumut. Kadang berpasir, kadang berdebu, kadang hanya batu, kadang juga lebih parah dari itu.

Tapi sejak awal, aku hanya ketiadaan yang merasuki sesuatu dan menjadi orang lain. Aku adalah seorang ayah, aku adalah seorang suami, aku adalah batu, serigala, domba, keledai, debu… aku adalah segala hal yang bukan diriku.

Jadi, mengapa harus aku menyesal saat menjadi batu karenamu?

Jakarta, 7 September 2017
18:29